Batam – Kuasa hukum dari Kapten KM Rizki Laut IV, M. Fahyumi bin Syarbini yakni Agustinus Nahak S.H.,M.H., menyikapi sejumlah dugaan kejanggalan prosedural dalam proses penangkapan dan penyitaan bahan bakar minyak (BBM) oleh tim Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Kepulauan Riau. Mereka menilai tindakan aparat berpotensi mencederai hak asasi kliennya dan bertentangan dengan hukum positif yang berlaku.
Hal tersebut disampaikan Agustinus Nahak dalam keterangan pers yang digelar di Hotel Swiss Belt Batam , Senin (2/6). Surat kuasa resmi diterbitkan pada 30 Mei 2025 dan ditandatangani pada Sabtu (31/5).
“Kami ingin meluruskan dan mengklarifikasi sejumlah pelanggaran prosedural yang kami temukan, mulai dari penangkapan, penyitaan barang bukti, penetapan tersangka, hingga tahapan penyidikan,” ujar Nahak dalam konferensi pers tersebut.
Peristiwa bermula pada Kamis dini hari, 29 Mei 2025 , bertepatan dengan hari libur nasional Kenaikan Isa Almasih. Sekitar pukul 00.30 WIB, KM Rizki Laut IV berangkat dari Tanjung Puncak menuju perairan Kabil , setelah menyelesaikan kegiatan, kapal kembali ke Tanjung Puncak dan melintasi perairan Tanjung Undap dalam kondisi normal, sambung Nahak.
“Tanpa diduga, sekitar pukul 01.00 WIB, kapal didekati oleh satu unit speedboat sipil bermesin 20 PK yang membawa lima pria bersenjata laras panjang. Tanpa memperlihatkan surat perintah penangkapan, mereka memaksa naik ke atas kapal dan menyita ponsel seluruh kru, termasuk milik kapten kapal, tanpa berita acara penyitaan, pungkas Nahak.
“Petugas menodongkan senjata kepada awak kapal, menyita alat komunikasi, dan mengambil alih kemudi kapal tanpa prosedur hukum yang sah. Ini jelas bentuk intimidasi,” kata kuasa hukum.
Kapal kemudian kandas di daerah pasir sekitar pukul 03.00 WIB karena permukaan laut mulai surut. Namun tidak ditemukan adanya kerusakan, tumpahan minyak, atau korban jiwa.
30 Mei 2025, sekitar pukul 11.30 WIB hingga dini hari, dua kru kapal diperiksa dan dipulangkan, sementara kapten kapal tetap ditahan. Surat perintah penangkapan baru diberikan kepada istri kapten setelah proses penahanan berlangsung.
Pada hari yang sama, sebanyak 11.120 liter BBM disedot dari kapal menggunakan dua unit truk tangki. Proses tersebut dilakukan tanpa berita acara penyitaan, tanpa kehadiran kapten kapal, serta tanpa surat perintah penyitaan sebagaimana diatur dalam KUHAP.
“Ini pelanggaran serius terhadap Pasal 38 KUHAP. Tidak ada berita acara, tidak ada saksi, tidak ada keterlibatan tersangka saat penyitaan. BBM disedot dan disebutkan akan dititipkan di PT Rizky Barokah Madani, tapi tidak jelas prosedurnya,” lanjutnya.
SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) baru dikirim pada 31 Mei, dan pihak keluarga belum menerima salinannya secara resmi.
Agustinus Nahak menilai penangkapan dan penyitaan yang dilakukan terhadap KM Rizki Laut IV cacat secara hukum. Mereka merujuk pada sejumlah yurisprudensi, seperti putusan PN Jakarta Selatan No. 32/Pid.Pra/2013, yang menyatakan bahwa penangkapan tanpa surat perintah di luar status tertangkap tangan adalah tidak sah.
“Kapten kapal tidak sedang melakukan tindak pidana, tidak ada bukti adanya pelanggaran, pencemaran, atau kerusakan lingkungan. Maka penetapan tersangka pun tidak memiliki dasar kuat,” tegasnya.
Penyidikan yang dilakukan pada hari libur nasional juga dianggap tidak sah karena bertentangan dengan asas hukum acara pidana, kecuali dalam kondisi tertangkap tangan atau keadaan mendesak. Padahal, dalam kasus ini, kapal berjalan normal dan tidak dalam status darurat.
Agustinus Nahak menyatakan tengah menyiapkan langkah praperadilan terhadap penetapan status tersangka kepada M. Fahyumi. Mereka juga meminta Polda Kepri membuka seluruh proses hukum secara transparan.
“Kami mendesak agar semua administrasi penegakan hukum dibuka secara terang benderang. Jangan sampai penegakan hukum justru menabrak hukum,” kata kuasa hukum menegaskan.
Sebagai catatan, Mahkamah Agung dalam Putusan PK No. 94/PK/Pid/2018 menyatakan bahwa jika perbuatan pidana belum terjadi atau tidak dapat dibuktikan saat penangkapan, maka proses hukum terhadap seseorang tidak dapat dilanjutkan.(JNK)