Sabtu, 18 Oktober 2025 WIB

Gabungan Elemen: Galangan Kapal Jadi Kuburan Massal Pekerja Ledakan PT ASL Bukti Pemerintah Gagal

Leo - Jumat, 17 Oktober 2025 22:26 WIB
Gabungan Elemen: Galangan Kapal Jadi Kuburan Massal Pekerja Ledakan PT ASL Bukti Pemerintah Gagal
Gabungan elemen Batam, anggota Dewan Keselamatan Kerja nasional, Parningotan Malau, Ketua Ikabsu Kepri, Jhonson Fidoli Sibuea, Ketua (IKA-FT USU) Marisi Pane, Ketua (ISAA) Batam, Ekdin Manurung dan rekan-rekan, Batam (17/10/2025)

Batam - Tragedi Ledakan dahsyat yang mengguncang galangan kapal PT ASL Shipyard Indonesia di kawasan Tanjung Uncang, Kecamatan Batu Aji, Batam, pada Rabu dini hari (15/10/2025), bukan sekadar insiden industri biasa. Peristiwa yang menewaskan 11 pekerja dan melukai puluhan lainnya, menguak sisi kelam di balik industri galangan kapal yang selama ini menjadi kebanggaan Kota Batam.

Kapal tanker MT Federal II menjadi saksi bisu dari kelalaian sistem keselamatan kerja yang berulang. Padahal, pada Juni 2025, di lokasi yang sama, empat pekerja juga tewas dalam peristiwa serupa. Rangkaian kejadian tragis ini menegaskan satu hal: Batam resmi berada dalam status darurat keselamatan kerja (K3).

Dosen Magister Hukum dan anggota Dewan Keselamatan Kerja Nasional, Parningotan Malau, menilai tragedi PT ASL sebagai tamparan keras bagi sistem perlindungan buruh di Indonesia.

Baca Juga:
Kami sedang membentuk tim kuasa hukum untuk mengawal hak seluruh korban dan keluarga. Ini bukan lagi sekadar persoalan K3, ini pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin konstitusi. Negara tidak boleh abai," tegasnya.

Menurut Parningotan, PT ASL wajib bertanggung jawab secara moral, hukum, dan administratif, atas kematian para pekerja yang disebabkan oleh lemahnya sistem keselamatan kerja. Ia juga menyoroti bahwa aparat hukum tidak boleh ragu untuk menjerat manajemen perusahaan bila ditemukan unsur pidana.

"Manajemen harus diseret ke meja hijau. Jangan ada kompromi. K3 bukan formalitas, ini tanggung jawab hukum dan kemanusiaan," tegasnya lagi.

Ketua IKABSU Kepri, Jhonson F. Sibuea, menyebut tragedi beruntun di PT ASL sebagai simbol nyata kegagalan pemerintah dalam melindungi para buruh industri galangan kapal.

"Batam sudah masuk fase darurat K3. Pemerintah gagal hadir di tengah buruh. Bagaimana mungkin industri sebesar ini terus beroperasi dengan korban berjatuhan tanpa tindakan tegas?" ujarnya dengan nada keras.

Menurut Jhonson, setiap kecelakaan kerja bukan takdir, melainkan kelalaian sistemik yang dibiarkan oleh negara.

"Kita tidak boleh menormalisasi kematian di tempat kerja. Kalau perusahaan tidak mampu menjamin keselamatan dasar, maka mereka tidak layak beroperasi," tegasnya.

Ia juga mengkritik keras lemahnya pengawasan Dinas Tenaga Kerja dan Balai Pengawasan Ketenagakerjaan yang dinilainya hanya bekerja setelah korban berjatuhan.

"Pemerintah tidak boleh hanya menunggu laporan. Mereka harus proaktif. Tapi yang terjadi, mereka diam. Ini kegagalan moral dan administratif," ujarnya tajam.

Dalam pernyataan kerasnya, Jhonson memperingatkan agar pemerintah tidak terus berlindung di balik dalih investasi asing.

"Jangan karena investasi, nyawa rakyat kita dijadikan tumbal industri. Kalau hanya uang yang diutamakan, Batam akan berubah menjadi **kuburan pekerja galangan," katanya lantang.

Ia mendesak agar Kementerian Ketenagakerjaan, Gubernur Kepri, dan aparat hukum turun langsung menutup sementara aktivitas PT ASL sampai proses investigasi dan tanggung jawab perusahaan tuntas.

"Kami tidak bicara ganti rugi semata. Kami bicara nyawa manusia. Bila ini dibiarkan, tragedi berikutnya tinggal menunggu waktu," tutupnya.

Ketua Ikatan Alumni Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara (IKA-FT USU) Kepri, Marisi Pane, S.T, juga mengeluarkan pernyataan keras. Ia menilai pemerintah daerah terlalu longgar dalam menerima investasi di sektor maritim tanpa verifikasi yang ketat terhadap kemampuan dan kredibilitas perusahaan.

"Pemerintah harus selektif terhadap investor yang masuk ke Batam. Banyak investor yang datang tanpa modal kuat, dan faktanya, pembayaran kepada supplier atau kontraktor sering tertunda bahkan ada yang tidak dibayarkan sama sekali. Ini menunjukkan sistem pengawasan investasi yang rapuh," tegas Marisi.

Ia menambahkan bahwa tragedi serupa telah berulang dan tidak bisa lagi dianggap kecelakaan biasa.

"Yang bertanggung jawab secara hukum bukan hanya karyawan pelaksana, tetapi pemilik perusahaan dan pemberi kerja lokal. Kami tidak mau hal seperti ini terulang. Harus ada sanksi pidana," ujarnya.

Selain itu, Marisi mendesak agar pemerintah benar-benar memastikan seluruh perusahaan galangan kapal di Batam mematuhi standar Health, Safety, and Environment (HSE) sesuai peraturan perundang-undangan.

Dinas terkait juga harus mengevaluasi efektivitas pelatihan tenaga kerja yang selama ini digelar. Anggaran pelatihan tiap tahun besar, tapi kalau hasilnya tidak menghasilkan tenaga kerja siap pakai dan aman, maka itu pemborosan negara," tambahnya.

Marisi menutup dengan desakan agar aktivitas PT ASL dihentikan sementara sampai seluruh proses hukum dan audit keselamatan tuntas.

"Kami mendukung penghentian sementara PT ASL sampai semua tanggung jawab diselesaikan. Keselamatan manusia tidak boleh dikorbankan atas nama produksi," ujarnya tegas.

Ketua Dewan Pimpinan Cabang Indonesia Shipping Agencies Association (ISAA) Batam, Ekdin Manurung, turut mengecam keras tragedi yang menelan korban jiwa tersebut. Ia menilai bahwa budaya keselamatan di industri galangan kapal di Batam masih jauh dari kata layak.

"K3 sering hanya dijadikan slogan dalam rapat dan banner perusahaan. Tapi di lapangan, kenyataannya sangat jauh. Banyak pekerja yang tidak mendapat pelatihan memadai, alat pelindung diri tidak lengkap, bahkan area kerja tidak memenuhi standar keamanan," tegas Ekdin.

Ia juga menyoroti peran pemerintah dan otoritas pelabuhan yang selama ini hanya berfokus pada produktivitas industri, tetapi menutup mata terhadap keselamatan pekerja.

"Batam ini hidup dari industri maritim. Tapi kalau manusia di balik industri itu terus jadi korban, maka keberhasilan ekonomi yang dibanggakan itu cuma ilusi," ujarnya.

ISAA Batam, lanjut Ekdin, mendesak agar dibentuk tim independen gabungan yang terdiri dari unsur akademisi, organisasi profesi, dan lembaga hukum untuk mengaudit seluruh perusahaan galangan kapal di Batam.

"Ini saatnya evaluasi total. Jangan lagi kita biarkan nyawa pekerja menjadi statistik. K3 harus menjadi syarat utama keberlangsungan izin industri, bukan pelengkap dokumen administratif," tegasnya.

Tragedi di PT ASL kini menjadi simbol paling kelam dari wajah industri Batam kota yang selama ini dielu-elukan sebagai motor pertumbuhan ekonomi maritim nasional. Di balik deru mesin dan gemerlap investasi, ribuan pekerja setiap hari berjudi dengan nyawa di bawah panas las, debu baja, dan gas bertekanan tinggi.

Jika negara kembali diam, sejarah akan mencatat: Indonesia pernah gagal melindungi rakyatnya di tanah industrinya sendiri.

Batam tidak boleh menjadi ladang kematian bagi pekerja galangan kapal. Sudah saatnya pemerintah menyatakan bahwa keselamatan manusia adalah harga mati, bukan sekadar angka di laporan kecelakaan kerja.

Editor
: Leo
SHARE:
 
Tags
 
Komentar
 
Berita Terbaru