Riau — Namanya Rayyan Arkhan Dhika. Umurnya Sebelas. Asalnya, Desa Pintu Gobang Kari, Kuantan Tengah, Riau. Sebuah nama yang terdengar seperti mantra. Dan barangkali memang demikian adanya. Nama yang mengundang semesta untuk menoleh.
Tiba-tiba dunia melihat Dhika. Dunia terpikat. Dunia ikut menari. Ketik kata kunci ‘aura farming’ dimerata layar media sosial, akan muncul budak Dhika menari lincah di ujung perahu Pacu Jalur. Seolah tubuh kecilnya adalah tiang pancang sejarah. Dhika tidak menjadi untuk dilihat. Itulah yang membuat kita tak bisa berpaling.
Aura Farming adalah istilah tidak baku yang menggabungkan dua kata. Aura: pancaran energi atau kharisma yang memikat dari seseorang. Farming: bertani atau membudidayakan. Dalam konteks media sosial dan budaya internet, farming sering dipakai secara metaforis, misalnya like farming (memancing banyak “like”).
Aura farming bisa diartikan secara bebas sebagai ‘proses atau cara memancarkan, menyebarkan, dan membudidayakan kharisma atau pesona diri, sering kali tanpa usaha yang kelihatan, tanpa pencitraan, tapi tetap membuat orang lain terpesona dan mengikuti’.
Dalam konteks Dhika, istilah ini dipakai dengan nada jenaka dan puitis, menggambarkan bagaimana ia, tanpa sengaja dan tanpa niat mencitrakan diri, justru menyebarkan auranya ke seluruh dunia. Dhika tidak menjual diri, tapi justru seluruh dunia membeli gaya dan energinya.
Dhika tidak lahir dari pabrik konten. Namun Dhika tumbuh dari akar. Dari tanah yang basah oleh cerita, dari kayu sebagai bahan perahu yang ditumbuhkan oleh doa. Di tengah dunia yang semakin bising oleh algoritma, Dhika hadir sebagai bisikan paling jernih.
Togak Luan Yang Viral
Kita hidup dalam zaman ketika spiritualitas menjadi jala robotik dunia maya, ketika eksistensi diukur oleh jumlah tampilan, ketika gerak tubuh dianggap konten, dan konten dianggap kebenaran. Tapi Dhika datang dari zaman lain. Dari jalur air. Dari detak jantung Melayu yang mengayuh perahu bahari di era baharu.
Orang kuantan menyebut peran Dhika di ujung perahu pacu jalur itu sebagai Togak Luan. Dalam falsafah Melayu. Ia adalah pusat gravitasi perahu. Dalam kosmologi modern, ia partikel yang menyalakan gelombang: auratik, tulus, liar dalam kedalaman.
Dunia menamainya viral. Yang sesungguhnya terjadi adalah kebocoran aura dari semesta lain. Kita tidak sedang menyaksikan konten, Dhika tak lain sebuah peristiwa. Dhika menggoyangkan kepala, dan bumi, seperti tersenggol takdirnya.
Tapi dalam semua itu, Dhika tetaplah Dhika. Tidak menjadi “siapa-siapa” karena ia telah utuh menjadi dirinya. Dan justru karena itu, ia menjadi segalanya.
Kita menyaksikan Paris Saint Germain, AC Milan, mengganti selebrasi golnya dengan gerakan Dhika, Juventus menjadikannya gimmick promosi klub. Gibran Rakabuming latah pula memparodikan, selebritis dan influencer dunia tergila-gila liukannya, masyarakat dunia berlomba-lomba menirunya dengan pelbagai versi demi mendulang viewers.
Kita melihat Travis Kelce, raksasa NFL, menyisipkan gerakan itu dalam touchdown, laksana semesta barat sedang mencari cara untuk menyentuh Timur yang tak bisa dibeli. Bahkan KSI, sang rapper digital, bergoyang dalam bingkai yang sama, meniru dan secara tak sadar membungkuk.
Apakah ini Diplomasi Budaya
Apakah ini Diplomasi budaya ? Mungkin. Apakah ini promosi pariwisata? Mungkin juga. Tetapi bagi Dhika, ini hanyalah suatu hari ketika sungai memanggil, dan tubuhnya menjawab.
Dhika adalah antitesis dari industri pencitraan. Dhika adalah puisi yang tak diketik. Ia tidak dibentuk oleh sistem. Ia dibentuk oleh arus. Oleh kayu yang dilubangi tangan, oleh air yang pernah digores dayung. Dan oleh cinta: cinta yang tak tahu cara menyebut dirinya sendiri.
Dalam dunia yang dahaga akan kejujuran, Dhika hadir sebagai ikon sekaligus sebagai jawaban. Dhika membungkam produksi makna. Dhika membuat kita sadar bahwa yang otentik bukanlah yang dibuat rumit, tapi yang tak bisa dijelaskan.
Dan kebanggaan kita semua orang Melayu hari ini seperti sungai, tak butuh pilter.
Dhika adalah revolusi yang tak berniat menjadi revolusi. Ia hanya terjadi begitu saja. Seperti hujan yang turun dibulan kemarau. Seperti lagu yang tak pernah direkam, tapi semua orang hafal nadanya.
Dunia modern memuja kecepatan. Tapi Dhika mengajarkan kita untuk menunggu. Menunggu getar. Menunggu hati. Menunggu saat ketika kepala goyang bukan karena musik, tapi karena rasa yang tak bisa ditahan.
Dhika berdiri di ujung perahu, seperti WALI KECIL DARI TIMUR.
Penulis — Ramon Damora